I AM ELF
SuJu… SuJu… SuJu… wawawa.. saya terkena demam musik Korea. Sebenarnya saya sudah lama menyukai musik dari Korea dan Jepang alias Kpop dan Jpop atau Jrock. Tapi akhir-akhir ini rasa sukanya menjadi-jadi. Saya tidak hanya suka tapi mulai tergila-gila apalagi kalau sama yang namanya Super Junior (SuJu). Boyband dengan 13 membernya (ditambah 2 member baru dari Cina dan keluar 1orang jadi total member 14 orang) dari Korea ini membuat saya klepek-klepek. Hampir semua lagu mereka saya punya, dan kebanyakan saya hafal liriknya, bahkan isi playlist mp3 di handphone hingga nada dering dan smspun saya pasang lagu mereka. Tidak hanya muda, ganteng, dan berbadan oke, suara mereka juga tidak payah-payah amat. Bahkan acungan jempol untuk kerja keras mereka. Inspiring me, terlalu berlebihan mungkin tapi memang demikian tiap kali melihat reality show mereka. Ya, semua orang punya “hero”-nya sendiri-sendiri, dan saya memilih SuJu salah satunya. Layaknya kebanyakan band, SuJu punya sebutan khusus untuk penggemarnya yaitu ELF, singkatan dari Everlasting Friend dengan harapan sebagai fans kami akan mendukung mereka sampai kapanpun juga untuk tetap berkarya. Dan tentu saja ELF memiliki warna “corporate” sendiri yaitu Blue Saphire. Lautan cahaya berwarna biru akan memenuhi sekeliling stage setiap kali SuJu manggung. What a wonderful, huh???

Namanya juga baru “demam”, pastilah yang dilihat ya yang bagus-bagus aja dari mereka. Oke, yang membuat saya kagum dengan SuJu adalah kerja keras mereka untuk mendapatkan popularitas. Memang bukan cuma SuJu tapi kebanyakan orang yang sukses, pasti melalui tahapan serupa. Konon, penyanyi di Korea sana sebelum mendapatkan impiannya menjadi orang terkenal juga mengalami masa “penyiksaan”, yang sering disebut dengan training. Beda dengan artis, aktris, aktor, penyanyi karbitan yang akhir-akhir ini makin marak di Indonesia. Di Korea sana, semua calon artis mereka akan digembleng habis-habisan hingga mendapatkan kualitas sesuai dengan standart Management Artis yang menampung mereka dalam camp-camp khusus pelatihan. Dan mereka harus membayar itu semua, maka beruntunglah bagi anak-anak tajir yang bermimpi menjadi artis. Mereka tak perlu susah payah kerja paruh waktu demi mengikuti training. Tak hanya hitungan bulan, mereka bisa menghabiskan masa training bertahun-tahun hingga akhirnya mereka bisa mendapatkan pre-debut. Dan pada akhirnya Killer Schedule menanti mereka. Tak heran banyak artis atau penyanyi Korea yang bunuh diri karena stress dengan jadwal dan tuntutan profesi.

Apapun itu, untuk saat ini saya benar-benar sedang jatuh cinta dengan SuJu :)

Masih terkait film Sex and The City (terlepas dari adegan panasnya) saya teringat masa kuliah, dimana saya punya 2 orang teman dekat yang selama ini berbagi tentang banyak hal bersama. Banyak sebutan bagi kami bertiga (Pradit, Tuti-saya-, Nanda)mulai dari tiga sekawan, charlie’s angels hingga julukan terpopuler yang melekat hingga sekarang 3diva. Tak jarang teman – teman yang tidak terlalu memahami kami berpikir sedikit kurang baik tentang kami, bahwa kami sekelompok cewek yang tidak bisa membaur dengan sesama, meng-elit-kan diri-lah, atau anggapan kalau kami merasa orang – orang tidak selevel dengan kami. Padahal bila dilihat dari kulit alias penampilan luarnya saja kami sangat biasa dan sederhana jauh dari kata mencolok malah terhitung sangat cuek dan apa adanya. Begitu juga dengan sikap dan tingkah laku kami yang memang biasa saja tapi jangan ditanya kalau kami sudah mulai perang argument. Kami tidak dengan sengaja membentuk dunia sendiri tapi memang kami bertiga terkadang punya satu ikatan kuat satu sama lain yang kadang orang – orang tidak paham atau malah tidak sepaham dengan kami.

Terkadang hal terpenting dari sebuah hubungan (yang terkait disini adalah hubungan pertemanan) adalah dibutuhkannya sebuah bentuk komunikasi yang mesra tapi jujur itu tidak terdapat dalam hubungan pertemanan kami selama kurang lebih 5 tahun ini. Kadang kami bertiga melakukan ritual mereview apa yang telah kami perbuat dalam jangka waktu tertentu tujuannya untuk introspeksi dan meningkatkan kualitas diri kami pribadi. Dan yang kami temukan justru hal – hal konyol yang diluar dugaan. Betapa kami sering missed comunication atau sering saling serang, sindir bahkan tidak mengindahkan perasaan satu sama lain intinya kadang kami gagal berkomunikasi dengan baik dan benar kepada satu sama lain. Namun hal ini malah memperkuat jalinan pertemanan kami. Ingin tertawa haru rasanya ketika mengingat banyak hal yang telah kami lalui dimana tanpa sadar kami telah saling dukung hingga mengorbankan kepentingan masing – masing. Rindu, ya, itu satu kata yang ingin terungkap saat ini, bukan melalui telepon, sms, fb, twitter, email atau yang lainnya melainkan tautan batin antar teman yang sudah kami jalin selama ini. Haah... kawan kapan kita menghabiskan waktu dan melepaskan penat bersama lagi...

Let's talk about Sex and The City

Siang ini saya (ditraktir) nonton sebuah film yang konon katanya hedon banget, Sex and The City 2. Dimana semua pemeran dalam film ini mengenakan semua kelengkapan set and wardrobe yang branded banget. Kehidupan kaum hedon New York yang membuat saya terkesima, bukan karena paras menawan mereka, melainkan karena bisa – bisanya mereka mengeluarkan uang ratusan ribu dollar hanya untuk membeli sepasang sepatu atau tas atau benda – benda lain yang tidak masuk akal (harga dan manfaat berbanding terbalik). Anehnya saya tertarik dengan film – film seperti ini tapi bukan berarti saya menjadi pemuja style dan gaya hidup super mewah melainkan saya pengagum keindahan dan estetika suatu karya seni.

Kembali pada jalan cerita film ini (mari kita mengesampingkan adegan – adegan panasnya), secara garis besar film ini menceritakan tentang kehidupan empat orang wanita stylish asal New York, Samantha yang masih menyukai hidup melajang dan menjalin hubungan bebas dengan pria – pria di sekitarannya, Miranda pengacara yang menjadi seorang ibu rumah tangga yang merindukan masa – masa kejayaannya di sebuah firma hukum, Charlotte seorang ibu rumah tangga yang sangat mengidamkan kehidupan berumahtangga yang sempurna malah membuatnya menjadi seorang paranoid, dan Carrie wanita karier yang memutuskan hidup dalam jalinan pernikahan tanpa anak – anak didalamnya. Film ini menyajikan kompleksitas dari sebuah komitmen dimana sebuah komunikasi memegang peranan pentingnya. Tak hanya komitmen dengan jalan hidup ataupun pasangan masing – masing melainkan juga komitmen mereka untuk tetap menjaga persahabatan dan saling mengisi diantara kelebihan-kekurangan satu sama lain. Saya tidak mau berpusing – pusing ria memikirkan premis cerita ataupun membandingkan dengan idealisme film – film sidestream karena film ini menurut saya hanya ingin mengungkapkan kekhawatiran perempuan kota (kebanyakan) yang melanda ditengah krisis kepercayaan diri. Bagi saya menyenangkan bisa melihat film ini sebagai bagian dari hiburan karena film ini juga dilengkapi dengan guyonan khas amrik.

di Balik "keinginan" Layar

Empat tahun belakangan ini, saya sangat mencintai “dunia di balik layar”. Mulai dari seorang penikmat film, kini saya berusaha menjadi bagian dari film tersebut. Posisi macam apa saja pernah saya tempati, meski hanya sekedar praktek yang merupakan tugas tiap semester hingga film yang pada akhirnya melanglang buana mengikuti festival – festival film lokal hingga ditayangkan pada stasiun TV lokal. Kesemuanya sangat membanggakan, mengingat jerih payah yang tumpah ruah demi karya – karya tersebut. Sangat menyenangkan bisa ikut berperan membantu kesuksesan sebuah produksi film, menurut saya tidak ada yang namanya “posisi kecil” atau “posisi yg gampang” dalam sebuah team. “Semua posisi sama pentingnya” ujar seorang kawan yang memilih Film sebagai jalan hidupnya – dan kini dia menekuni pekerjaannya sebagai seorang sutradara sekaligus editor –. Mulai dari seorang Clapper hingga Executive Producer sekalipun, semuanya membutuhkan konsentrasi dan tidak main – main – okelah, kalau bercanda untuk mencairkan suasana, tapi jangan berlebihan – . Posisi yang dianggap sebagian besar orang menjadi posisi paling bergengsi adalah sebagai seorang “Director” alias “Sutradara”. Ya, salah satu keinginan terpendam saya untuk menjadi seorang director, bukan buat gengsi – gengsian, tapi saya ingin menyampaikan karya saya dengan cara saya.

Dan akhirnya posisi apik itu kini saya lakoni, ya, saya menjadi sutradara untuk film perdana saya. Sangat rumit, sungguh sangat rumit ternyata. Sejenak saya merasa lelah dan tidak percaya diri – karena kawan sesama crew yang jauh lebih senior – hampir saja saya jatuh dalam kubangan rasa malu, tapi melihat dukungan dari teman – teman yang tiada henti membuat semangat saya bisa mengalahkan rasa minder saya.

Kanvas Lintang menjadi film pertama saya sebagai seorang director. Ide ceritanya sederhana, tentang seorang pemuda yang belajar memahami sesuatu meski harus melewati serangkaian peristiwa yang berasal dari imajinasinya sendiri. Film ini terinspirasi dari beberapa film yang pernah saya lihat, khususnya film – film konsumsi festival, Spring-Summer-Fall-Winter… and Spring [Kim Ki Duk, Korea], 3iron [Kim Ki Duk, Korea], La Tete De Maman [Carine Tardieu, Perancis], Color of Paradise [Majid Majidi, Iran], Kettle of Fish [Arie Surastio, Indonesia]. Film – film tersebut banyak memberi inspirasi untuk penulisan cerita, pengolahan gambar dan suara, terutama dalam hal pengadeganannya. Tapi tak melulu film yang menjadi inspirator, lagu juga memberikan kesegaran pada otak ini untuk terus bekerja bagaimana menyampaikan makna melalui naskah. Godan Daginn dan Agaetis Byrjun [Sigur Ros, Iceland] music bertema Etheral dengan bahasa dan gayanya yang khas – yang hanya personil dari Sigur Ros-lah yang mengerti maknanya – mereka sebut sebagai hopelandic, adalah dua lagu yang sangat mempengaruhi film Kanvas Lintang ini. Sambil menulis naskahnya, saya bernyanyi lirih kedua lagu tersebut, yang baru saya tahu liriknya melalui internet – tapi tetap kurang paham bagaimana pengucapannya –.

Melalui tiga tahapan produksi membuat saya belajar banyak hal, yang kesemuanya menjadi pengalaman pertama saya. Membuat saya berkeringat, seperti pori – pori ini melebar mengeluarkan peluhnya tak mau kompromi, mata ini-pun ikut – ikutan pedas dibuatnya, sangat rumit tapi juga sangat menarik, bagai candu saja. Dan saya yakin teman – teman sepakat akan hal ini, sesuai dengan perannya “di balik layar”, mereka merasakan hal yang sama. Saya sangat beruntung bertemu dengan orang – orang yang luar biasa, Manaprodsi 4, ILU Production, M&M Production 2005, VIP Production, Orbit TV – R, Comulus Films, 2SKH, MBN TV – R, Kaset Bekas Pictures, Artpictures Films, RedFrameFilms, Artpictures The Retake dan semua teman – teman seperjuangan.

Berbicara soal jobdesc yang pernah saya rasakan selama produksi , saya lebih merasa nyaman ketika saya menjadi seorang Director’s Assistant yang bertugas untuk segala macam paperwork. Posisi ini mulai saya kenal sekitar satu setengah tahun lalu. Seorang kawan pernah berkata, “Director’s Assistant bukanlah sebuah batu loncatan untuk menjadi seorang Director, melainkan sebuah profesi yang memang harus ditekuni, ada seorang – saya lupa namanya – yang selama 15 tahun berkecimpung sebagai Director’s Assistant dan dia memang tidak mau beralih dari profesi tersebut meski ditawari sebagai seorang Director sekalipun”. Perkataannya terngiang di telinga saya. Kawan saya itu adalah seorang Director dengan keinginan yang berimbang dengan idealismenya. Saya berniat mengembangkan kemampuan saya dibidang tersebut. Saya berharap bukan sekedar niatan saja tapi berwujud pada tindakan juga kesempatan yang tiada hentinya mengalir untuk saya.

intermezzo... inspirasi dari kawan...
# 1 inggris setengah mateng

seorang perempuan dengan dandanan kaum jetset berjalan sambil sibuk menerima telepon berdiri didepan meja kasir, ingin membayar.

perempuan : (kepada pelayan) the bill please...
(kepada seseorang yang sedang diteleponnya) iya... iya gue ngerti... lo gak perlu pusing lagi... udah deh... tenang aja, semua beres... sekarang gue otw mrono...

ups... si pelayan tersenyum menahan geli dan berkata

pelayan : thank you for coming... (dengan aksen barat yang terdengar keren sekali)

didengar langsung oleh penulis dan teman - teman yang hampir tersedak gara - gara menahan tertawa.
sedang bersama blog rekan - rekan

Minggu – minggu ini rasanya semakin dekat aja sama laptop… biar kata bongsor dan tampak lebih tua tapi laptop ini menjadi salah satu barang yang sangat berharga. Apalagi sekarang si laptop punya teman baru, si modem… jadi bisa bebas berseluncur ria ya meski sinyalnya masih “byar-pet” kalo dirumah tapi nggak apa – apa. Internet dikamar sendiri… hmmm luar biasa…

Kegiatan paling menyenangkan selama berseluncur itu… membaca beberapa blog punya temen – temen dan saudara beserta rekan – rekanannya yang tercantum dalam blogroll mereka. Menakjubkan… kalau dipikir tulisan – tulisan itu sederhana, nggak “muluk – muluk” tapi selalu unik dan berciri. Lama – lama jadi ketularan pingin ikut – ikutan eksis juga sebagai blogger, sekalian sedikit demi sedikit meredam addicted for facebook ^^”, yang makin hari, jaringan sosial itu berubah sama saja dengan sepupunya, si friendster.

Ok, lanjut. Salah satu blog favorit saya yang akhirnya menginspirasi saya buat ikut – ikutan tulis menulis di blog ini yaitu blog-nya mas Adin. Hohoho… menurut saya itu, beny & mice-nya kampus UI (bukan bermaksud nyama2in, mas Adin ^^’) alirannya aja yang sama (sama2 perhatian sama orang hehe…) dari segi penulisan sampai ke pengemasan cerita jelas beda… beda… beda… jadi terinspirasi untuk menceritakan kenangan - kenangan para calon SPT dari kelas saya...

Sebuah cerita, terjadi tepat disalah satu ruang kelas di kampus yang katanya the center of excellent.

Suatu hari dikelas, diadakan diskusi untuk menyambut praktek gabungan dengan kelas teknik.

Mahasiswa #1 : ah… gimana ni… untuk scene 11… mau ambil angle kayak gimana ni?

Dosen Pembimbing : saya kasih masukan ya… gimana kalau ambil high angle aja… pasti bagus tu hasilnya…

Mahasiswa #1 : berarti harus pakai jimmy jip ya… hmmm (berpikir)…

Mahasiswa #2 : wah pak dosen… peminjaman alatnya pasti susah itu pak… seumpama nyewa juga kita nggak punya budget…

Kelas hening, semua mahasiswa tampak berpikir untuk jalan keluarnya. Tiba – tiba mahasiswa #3 memecah keheningan dengan suaranya yang lantang.

Mahasiswa #3: aha… jimmy jip ya… tenang aja… aku siap kok minjemin kalian… dirumah nganggur tu… dah nggak pernah dipake off road lagi…

Kontan semua tersenyum kagum kepada mahasiswa #3… kagum karena dia bisa lulus hingga semester 6, dengan nilai tata kamera yang memuaskan. Sementara beberapa mahasiswa yang lain bersyukur karena diskusi kali itu tidak dihadiri satu-pun teman dari kelas teknik.

Sampai detik ini tidak ada seorang-pun tahu apakah dia sudah tahu beda jimmy jip dengan mobil jeep. Hal ini membuat kita sadar satu hal, mahasiswa #3 adalah manusia. Karena manusia tidak pernah luput dari kesalahan. Begitu juga saya…

iseng-iseng... tulis-tulis

Seorang kawan baik memperlihatkan saya sebuah buku judulnya Sex after Dugem. Melihat covernya yang norak dan judul yang menggoda telinga siapapun yang mendengar saya tertarik membacanya. Dan ternyata oh… penulisnya saja mas Budiman Hakim. Pantaslah… karena tebalnya dan waktu itu kurang memungkinkan untuk melahap buku tersebut, kawan baik saya akhirnya menjadi guide saya dan menunjukkan salah satu bab yang ceritanya habis dalam tiga halaman. Kalau tidak salah judulnya Tuhan juga On Line ( maaf kalau keliru ). Menceritakan kisah ketika mas Budiman mengajak beberapa orang kawannya yang notabene merupakan orang – orang ahli dibidangnya untuk mencoba merambah dunia tulis menulis. Namun tanggapan dari teman – temannya sama saja, mereka tidak percaya diri untuk mencoba membuat sebuah tulisan tentang bidang – bidang yang mereka kuasai sekarang ini dan malah menjadikan para tokoh senior mereka sebagai pembanding. Inti dari bab tersebut adalah kenapa tidak untuk kita mencoba menuangkan ide – ide kita kedalam sebuah tulisan. Tidak perlu jauh – jauh bersusah payah membuat sebuah buku cukup dengan media blog saja. Dan tidak perlu malu atau tidak percaya diri dengan tulisan – tulisan sendiri walaupun pada awalnya terasa aneh. Namun lama – kelamaan tulisan – tulisan tersebut akan berkembang dan bisa dilihat jelas perbedaannya antara tulisan pertama kali dan tulisan paling akhir ditulis. Jadi pada dasarnya orisinalitas-lah yang penting disini. Dimana kita menuangkan ide – ide kedalam sebuah tulisan dengan gaya kita sendiri.

Entah apa maksud kawan baik saya itu memperlihatkan bab itu kepada saya. Yang jelas terima kasih banyak karena sekarang saya mulai mencoba menulis, dimulai dari apa yang ingin saya sampaikan. Satu lagi, salah seorang yang bisa disebut sebagai orang yang penting bagi saya berkata terkadang akan jauh lebih mudah mengungkapkan isi hati kita kedalam sebuah tulisan dari pada harus berbicara langsung. Kalimat pertama yang ingin saya tulis untuk orang ini adalah banyak cinta untukmu dari aku.