di Balik "keinginan" Layar

Empat tahun belakangan ini, saya sangat mencintai “dunia di balik layar”. Mulai dari seorang penikmat film, kini saya berusaha menjadi bagian dari film tersebut. Posisi macam apa saja pernah saya tempati, meski hanya sekedar praktek yang merupakan tugas tiap semester hingga film yang pada akhirnya melanglang buana mengikuti festival – festival film lokal hingga ditayangkan pada stasiun TV lokal. Kesemuanya sangat membanggakan, mengingat jerih payah yang tumpah ruah demi karya – karya tersebut. Sangat menyenangkan bisa ikut berperan membantu kesuksesan sebuah produksi film, menurut saya tidak ada yang namanya “posisi kecil” atau “posisi yg gampang” dalam sebuah team. “Semua posisi sama pentingnya” ujar seorang kawan yang memilih Film sebagai jalan hidupnya – dan kini dia menekuni pekerjaannya sebagai seorang sutradara sekaligus editor –. Mulai dari seorang Clapper hingga Executive Producer sekalipun, semuanya membutuhkan konsentrasi dan tidak main – main – okelah, kalau bercanda untuk mencairkan suasana, tapi jangan berlebihan – . Posisi yang dianggap sebagian besar orang menjadi posisi paling bergengsi adalah sebagai seorang “Director” alias “Sutradara”. Ya, salah satu keinginan terpendam saya untuk menjadi seorang director, bukan buat gengsi – gengsian, tapi saya ingin menyampaikan karya saya dengan cara saya.

Dan akhirnya posisi apik itu kini saya lakoni, ya, saya menjadi sutradara untuk film perdana saya. Sangat rumit, sungguh sangat rumit ternyata. Sejenak saya merasa lelah dan tidak percaya diri – karena kawan sesama crew yang jauh lebih senior – hampir saja saya jatuh dalam kubangan rasa malu, tapi melihat dukungan dari teman – teman yang tiada henti membuat semangat saya bisa mengalahkan rasa minder saya.

Kanvas Lintang menjadi film pertama saya sebagai seorang director. Ide ceritanya sederhana, tentang seorang pemuda yang belajar memahami sesuatu meski harus melewati serangkaian peristiwa yang berasal dari imajinasinya sendiri. Film ini terinspirasi dari beberapa film yang pernah saya lihat, khususnya film – film konsumsi festival, Spring-Summer-Fall-Winter… and Spring [Kim Ki Duk, Korea], 3iron [Kim Ki Duk, Korea], La Tete De Maman [Carine Tardieu, Perancis], Color of Paradise [Majid Majidi, Iran], Kettle of Fish [Arie Surastio, Indonesia]. Film – film tersebut banyak memberi inspirasi untuk penulisan cerita, pengolahan gambar dan suara, terutama dalam hal pengadeganannya. Tapi tak melulu film yang menjadi inspirator, lagu juga memberikan kesegaran pada otak ini untuk terus bekerja bagaimana menyampaikan makna melalui naskah. Godan Daginn dan Agaetis Byrjun [Sigur Ros, Iceland] music bertema Etheral dengan bahasa dan gayanya yang khas – yang hanya personil dari Sigur Ros-lah yang mengerti maknanya – mereka sebut sebagai hopelandic, adalah dua lagu yang sangat mempengaruhi film Kanvas Lintang ini. Sambil menulis naskahnya, saya bernyanyi lirih kedua lagu tersebut, yang baru saya tahu liriknya melalui internet – tapi tetap kurang paham bagaimana pengucapannya –.

Melalui tiga tahapan produksi membuat saya belajar banyak hal, yang kesemuanya menjadi pengalaman pertama saya. Membuat saya berkeringat, seperti pori – pori ini melebar mengeluarkan peluhnya tak mau kompromi, mata ini-pun ikut – ikutan pedas dibuatnya, sangat rumit tapi juga sangat menarik, bagai candu saja. Dan saya yakin teman – teman sepakat akan hal ini, sesuai dengan perannya “di balik layar”, mereka merasakan hal yang sama. Saya sangat beruntung bertemu dengan orang – orang yang luar biasa, Manaprodsi 4, ILU Production, M&M Production 2005, VIP Production, Orbit TV – R, Comulus Films, 2SKH, MBN TV – R, Kaset Bekas Pictures, Artpictures Films, RedFrameFilms, Artpictures The Retake dan semua teman – teman seperjuangan.

Berbicara soal jobdesc yang pernah saya rasakan selama produksi , saya lebih merasa nyaman ketika saya menjadi seorang Director’s Assistant yang bertugas untuk segala macam paperwork. Posisi ini mulai saya kenal sekitar satu setengah tahun lalu. Seorang kawan pernah berkata, “Director’s Assistant bukanlah sebuah batu loncatan untuk menjadi seorang Director, melainkan sebuah profesi yang memang harus ditekuni, ada seorang – saya lupa namanya – yang selama 15 tahun berkecimpung sebagai Director’s Assistant dan dia memang tidak mau beralih dari profesi tersebut meski ditawari sebagai seorang Director sekalipun”. Perkataannya terngiang di telinga saya. Kawan saya itu adalah seorang Director dengan keinginan yang berimbang dengan idealismenya. Saya berniat mengembangkan kemampuan saya dibidang tersebut. Saya berharap bukan sekedar niatan saja tapi berwujud pada tindakan juga kesempatan yang tiada hentinya mengalir untuk saya.